Petir yang sedari tadi menyambar kini melepaskan
rintik-rintik hujannya, perlahan baju merah muda yang ku kenakan mulai basah
dan jaket biru langitmu juga ikut basah karena hujan. Kau pinggirkan motor
hitammu ke depan ruko yang tutup, orang-orang juga ikut berteduh dari hujan
yang mulai deras.
Aku memandang wajahmu sejenak, bulir-bulir air hujan
membuat wajahmu semakin terlihat makin tampan, dan rambut basahmu membuat aku
semakin terpukau. Kau palingkan wajahmu ke arahku, aku memalingkan wajahku
juga, tak ingin kamu tau bahwa aku sudah memperhatikanmu.
“Ini kamu pake ya” Denny memberikan jaket biru
langitnya untukku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum, namun dalan hati rasanya
bahagia banget. 'Oh God, he’s so romantic’ kalo aku bisa teriak dan
lompat-lompat, aku mau melakukan kedua hal itu saat itu juga, namun aku cukup
waras untuk tetap tersenyum manis di depan Denny dan orang-orang yang berteduh.
“Makasih Den”. Denny hanya tersenyum sambil menyeka
wajah yang dipenuhi bulir-bulir air hujan.
Sedetik, semenit, lima belas menit kami saling
terdiam, tak saling menatap atau berbincang, tiba-tiba Denny mengeluarkan
kertas berwarna merah muda dan memberikannya padaku. Aku terdiam, bingung, dan dengan
perlahan mengambil kertas itu.
‘Would you like to be mine?’ Tulisan yang sudah
mulai luntur di atas kertas merah muda itu membuatku diam seribu bahasa, aku
hanya mematung, angin hujan serasa membekukan tubuhku. Aku menengok kanan-kiri,
takut kalo ada yang melihat tentang ini, malu juga kalo tau ditembak saat hujan
begini.
“I Love You” Denny membisikkan kata-kata itu,
mengucapkannya dengan jelas, terdengar jelas sampai ke hati. “Maaf ya kalo
mendadak gini, abis takut kao tulisannya luntur ga berbekas, kan sayang udah
dibuat tapi ga tersampaikan”
“Terserah kamunya aja, yang penting dari hati udah
tersampaikan, bagaimana hati kamu menerima atau tidak”
Aku memberi isyarat supaya Denny mendekat dan
menunduk, tubuhnya terlalu tinggi untuk aku membisikkan satu jawaban untuknya: “I
Love You, too”